Selasa, 03 Mei 2011

Nenek

Selamat Datang di Blog Saya Echoe Ghazy Silah kan Pilih Daftar Bacaan Saya Semoga Bermanfaat "Crateb By : "Echoe Ghazy"


Ditulis Oleh : Lie Charlie

Nenekku merokok! Inilah yang membedakannya dengan karakter nenek lain yang umumnya lemah lembut dan imut-imut; salah satunya. Ia juga garang, pemarah, dan suka cakap kotor!

Bila kesal ia menyebut-nyebut alat kelamin pria dan wanita. Orang yang pertama kali mendengar nenek menggerutu pasti kaget bukan alang kepalang.

Namanya saja nenek, jadi, ia memang sudah tua sehingga semua orang tampaknya memaklumi segala ulahnya yang menyimpang. Kalau menasihati orang, nenek selalu terus terang. ”Malas kau! Mana ada laki yang mau sama kau? Bisanya cuma duduk-duduk mengangkang dan berdandan. Sana cuci piring, cuci pakaian, masak, atau beres-beres! Jadi perempuan jangan sampai harus disuruh-suruh. Malu.” Saudara sepupu jauhku langsung merah matanya dan tersengal-sengal napasnya diomeli begitu.

Aku melihat nenek sendiri tidak mengerjakan apa-apa. Sepanjang hari ia cuma duduk-duduk di kursi-baringnya yang terbuat dari kayu dan kain terpal. Ya, duduk-duduk sambil berkipas-kipas bila hari panas dan merokok Kansas. Bibi Ketiga yang selalu membelikannya rokok sehingga nenek sering bercerita kepada orang mengenai anak bungsunya ini yang dikisahkannya sebagai anak berbakti.

Nenek suka membanding-bandingkan Bibi Ketiga dengan Bibi Kedua yang dilukiskannya pelit dan hanya peduli pada keluarganya sendiri. Maka Bibi Kedua suka menyela bila nenek sudah mulai menyinggung Paman Kedua dan membandingkan perhatiannya dengan Paman Ketiga yang selalu dipujinya royal. Seperti efek domino, nenek pun lebih menyayangi anak-anak Bibi Ketiga dan selalu mencela anak-anak Bibi Kedua yang dinilainya nakal karena dimanja.

Ada sebuah pispot tempat nenek buang ludah di samping kursi-baringnya. Keadaan ini membuat aku merasa jijik tetapi aku mendiamkannya. Kalau aku tak menahan diri, nenek mungkin akan langsung menuding aku durhaka atau entah apalah. Ayah adalah anak sulung nenek. Karena melahirkan anak sulung laki-laki, nenek disayang kakek. Nenek, dengan demikian, juga menyayangi ayah lebih daripada Bibi Kedua dan Bibi Ketiga.

Nenek suka membanggakan ayah yang sebenarnya kurang cakap berdagang, suatu kemampuan yang menjadi andalan banyak orang perantauan pada masa itu. Seingat aku, ayah gagal dan rugi melulu bila memperdagangkan sesuatu. Berbeda dengan sikapnya terhadap ayah, nenek kurang senang dengan ibuku. Mungkin lantaran setelah menikah dengan ibu, ternyata ayah tidak maju-maju. Nenek juga tidak mencintai kami, aku dan saudara-saudaraku.

Ada kalanya aku merasa cemburu kepada teman yang sering bercerita betapa mereka disayang nenek masing-masing. Bukan perkara mata duitan tetapi nenek orang lain ternyata suka memberi uang kepada cucu-cucunya. Nenekku tidak pernah memberi aku uang jajan. Bila menyuruh-nyuruh pun ia tidak membiarkan aku mengantongi uang kembaliannya. Aku tahu nenek tidak punya banyak uang maka aku tidak banyak menuntut dan mengata-ngatainya pelit atau apalah. Jika membeli mie pangsit, nenek memesan mie polos tanpa pangsit. Belinya selalu sebungkus untuk dirinya saja. Jajan apapun nenek hanya memuaskan dirinya sendiri. Sejauh ingatanku, aku juga tak pernah membelikan sesuatu untuk nenek. Hubungan aku dan nenek jauh dari ikatan kasih sayang.

***

Nenekku istri muda kakekku. Istri kedua. Dahulu, zaman kakek dan nenekku, cukup banyak wanita menjadi istri muda pria perantauan dari Tiongkok. Orang yang merantau tidak pernah membawa-bawa serta istri dan anak mereka. Tiba di rantau, suratan tangan berbelok ke mana-mana. Usia pria perantau umumnya masih relatif muda dan penuh gairah. Mana tahan tidak menyentuh perempuan dalam waktu lama dan tak ada ujungnya?

Beberapa yang berakhlak rendah masuk-keluar rumah pelacuran dan mengisap opium. Kakekku bermoral tinggi biarpun akhirnya ia menyerah pada nafsunya sendiri. Ia mencari jalan yang agak bersih dengan mengambil keputusan menikah lagi. Aku yakin nenekku yang mulai menggodanya. Walaupun sudah tua, aku tahu nenek bertulang sedikit genit dari sananya.

Belakangan nenek di Tiongkok tahu bahwa suaminya sudah menikah lagi di perantauan meskipun kakek masih setia mengirimkan uang secara teratur. Mungkin nenek di Tiongkok sakit hati dan sudah memikirkan akan menempuh sebuah jalan sendiri. Pada suatu kesempatan ia menitipkan putrinya, putri sulung kakekku, kepada seorang perantau dari kampung yang sama untuk diserahkan kepada kakek. Kukira kakek orang baik dan bertanggung jawab. Ia membesarkan putri sulungnya secara terpisah. Kakek sudah cukup kaya waktu itu setelah sukses di perantauan. Entah pekerjaan yang dilakukan kakek sebelumnya, hal yang aku ketahui adalah bahwa kakek berdagang ikan asin grosiran. Aku memang tidak tahu banyak sebab kakek meninggal dunia saat aku masih berusia antara 1-2 tahun. Cerita-cerita aku dengar dari keluarga dan nenek.

Nenek suka bercerita jika tak dapat dikatakan banyak mulut. Setiap kali duduk atau jongkok dan berhadapan dengan orang, ia akan mulai bercerita. Biasanya semua ceritanya menyinggung hal yang bagus-bagus mengenai dirinya dan soal yang jelek-jelek dan aneh-aneh jika menyangkut orang lain.

Sebagai sesepuh, nenek sesekali dikunjungi sanak keluarga yang lebih muda. Ia senang dihormati tetapi tak segan-segan menyerang orang dengan kata-kata polos. Suatu kali ia mengintip salah seorang kerabat yang bersimpuh mengenakan celana dalam mini dan berkomentar, ”Beraninya kau! Pada zaman aku, celana dalam seperti itu hanya dipakai pelacur!” Kontan sang kerabat memerah wajahnya.

Selain cerita sehari-hari yang dibumbuinya, nenek sering pula mendongeng. Tentang Sun Go Kong yang dapat berubah menjadi 72 wujud, tentang kera yang jempolnya lemah sebab jika kuat bisa memegang pisau dan membunuh manusia, tentang tokoh bernama Gong Beng (Beng si Bodoh) yang duduk telanjang di bawah meja untuk menjadi santapan nyamuk agar ayahnya bebas dari gigitan nyamuk, dan lain-lain. Paling heboh bila nenek mendongeng tentang neraka. Orang yang berbohong bakal dipotong lidahnya, (bukan memanjang hidungnya), orang yang berkhianat akan direbus, orang yang mencuri dipenggal tangannya dan diumpankan kepada anjing, dan macam-macam siksaan menurut imajinasi nenek. Tujuannya membuat kami takut dan menjadi anak penurut. Di atas semua itu, tentu kami paling suka mendengar kisah hantu.

***

Kamar nenek seram atau begitulah pendapat aku. Satu-satunya jalan masuk cahaya berasal dari genteng kaca di atap. Pada langit-langit kamar ada bagian yang diberi lempengan kaca sehingga cahaya dari atap tersebut dapat menerobos masuk. Tidak ada jendela sebab kamar nenek berada di bagian dalam rumah. Pada dinding kamar tergantung sepasang lukisan potret kakek dan nenek dalam bingkai oval. Lukisan itu dibuat oleh seniman Belanda yang datang berkeliling dan mengumpulkan foto mereka yang hendak dilukis. Foto-foto yang terkumpul dibawa pulang dan dilukis di negeri Belanda. Setelah selesai ia membawa hasil karyanya kembali ke sini.

Perabot milik nenek hanya sebuah lemari kayu besar tempat ia menyimpan pakaiannya dan seluruh rahasia hidupnya. Aku tidak pernah tahu isi lemari nenek dan tidak ingin tahu. Aku masuk ke kamar nenek biasanya lantaran hendak mengambil sesuatu dari meja belajar kakak yang sejak kecil tidur bersama nenek.

Setelah ia sakit-sakitan aku jarang mendengar lagi mengenai nenek. Aku sendiri kemudian meninggalkan rumah untuk merantau ke Jawa. Aku tidak merindukan nenek dan aku kira nenek juga tidak peduli padaku. Perpisahan kami seperti sebuah keniscayaan yang pasti terjadi. Suatu waktu aku tahu, pada saat sakit, nenek pernah menuduh adikku mencuri uangnya dari dalam lemari! Aku tidak percaya dan marah. Nenek juga menambahkan bahwa uangnya dipakai adik untuk berjudi. Astaga, orang tua ini mengigau atau berhalusinasi. Fantasinya masih berjalan ke mana-mana ketika ia terbaring lemah. Aku mengenal adikku dan berani berkata bahwa ia tidak mungkin berlaku sejahanam itu. Aku pikir, jika masih ada di rumah, barangkali aku yang akan menjadi sasaran hujatan nenek.

Setelah ibu mempertanyakannya, Bibi Ketiga mengaku bahwa dialah yang mengambil uang nenek. Alasannya, ia khawatir bila nenek meninggal, kami mengambil uang itu. Ia merasa itu uangnya sebab hanya dia yang selalu memberi nenek uang. Sayangnya, ia mengaku setelah nenek meninggal dunia. Bibi Ketiga berkelit bahwa ia tidak tahu nenek menaruh curiga kepada adikku. Nenek senantiasa memuji Bibi Ketiga. Kenyataannya memang Bibi Ketiga sering membelikan nenek sesuatu, hal yang jarang dilakukan anak-anak nenek yang lain termasuk ayah. Selain rokok yang sekali beli 2-3 slop (1 slop isi 20 bungkus), Bibi Ketiga suka membelikan nenek sarung. Nenek memang mengenakan kebaya (yang belakangan aku tahu namanya kebaya ”encim”) dan sarung seperti nyai-nyai di Jawa.

Aku tahu, tidak baik bercerita tentang orang yang sudah tiada, apalagi mengenai keburukannya. Aku hanya ingin orang tahu bahwa tidak semua nenek baik. Nenek juga manusia dan ada yang jahat. Mungkin bukan jahat dalam arti suka memukul atau mencaci maki, melainkan tidak menyayangi cucunya dan egois sampai mati. Nenek telah wafat dan dikubur. Aku tidak pernah mengunjungi kuburannya. Tidak ada kerinduan untuk itu.
Belati dan Hati
Cerpen chairil Gibran Ramadhan

Aku mendatangimu dengan dua malaikat di kedua sisiku. Malaikat di sebelah kananku, semenjak hari kelahiranku, hanya mengharapkan aku melakukan kebaikan, lalu menuliskan semua kebaikan itu di dalam jutaan lembar kulit kambing berbungkus kain sutra putih yang selalu didekapnya, dan kulit-kulit itulah yang nanti akan ia bangga-banggakan kepada penciptanya. Malaikat di sebelah kiriku, hingga hari kematianku, tidak pernah mengharapkan aku melakukan kejahatan, meski yang ia lakukan hanya menuliskan kejahatan-kejahatan yang kulakukan di dalam jutaan lembar kulit kambing berbungkus kain lusuh hitam yang selalu didekapnya, dan kulit-kulit itulah nanti yang akan ia perlihatkan kepada penciptanya.
Bajuku tebal berwarna lumut namun terlalu banyak lumut yang menutupinya, panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku. Rambutku panjang melebihi punggung dan tidak pernah kucuci dengan batang-batang padi kering maka sering membuat kepalaku gatal-gatal dan berkutu dan sudah puluhan tahun kusengajakan berpilin-pilin, meski aku membenci Daun Kenikmatan karena akan membuatku bodoh dan bicaraku bagai orang dungu. Kuku di tangan kiri dan kananku panjang-panjang sehingga mirip setan bermata besar, bergigi taring, berambut putih panjang sekaki, bongkok dan berpunuk yang muncul dari balik asap ledakan, kata orang ledakan sekantung kecil pasir warna abu-abu, padahal tidak mungkin sekantung kecil pasir warna abu-abu meledak sedahsyat itu.
Tidak ada alas kaki, tidak ada mahkota berlian, tidak ada kereta kuda.
Kedua telapak tanganku terbuka, menampung hatiku yang merah di tangan kanan namun tidak berlumur darah karena telah kubersihkan karena kutahu akan kuperlihatkan kepadamu, lalu belati mengkilat di tangan kiri, yang belum lama kupakai untuk merobek dadaku dan sudah kubersihkan karena kutahu akan kuperlihatkan kepadamu.
Inilah kabar yang seharusnya dilihat dan didengar semua orang. Sebuah berita, bukan cerita, karena ada beda yang nyata antara aksara kedua dengan aksara ketiga, meski hanya satu, karena sebuah berita seharusnya berguna, begitu pula cerita. Bukan tentang jubah yang dikenakan si Anak Pertama. Bukan tentang makanan yang masuk ke perut si Anak Kedua. Bukan tentang permata yang mengelilingi lengan si Anak Ketiga. Sampah. Bukan tentang si Mata Besar yang menawarkan cincin kepada si Mata Kecil. Bukan tentang si Kuping Besar yang memberi cincin kepada si Kuping Kecil. Bukan tentang si Hidung Besar yang mengambil cincin dari jari si Hidung Kecil. Sampah. Sampah. Bukan tentang si Gemuk yang tubuhnya kurus tiba-tiba. Bukan tentang si Kurus yang tubuhnya menggelembung tiba-tiba. Bukan tentang si Hidup yang mati tiba-tiba. Sampah. Sampah. Sampah. Sering kepalaku berputar-putar dan mataku menjadi gelap gulita bila memikirkan anak-anak perempuan setiap hari, dari pagi hingga malam, hingga kembali pagi, melahap sampah-sampah di dalam rumah-rumah mereka, sampah beku dan sampah bergerak, begitu pula perempuan-perempuan berketurunan puluhan yang hanya bergerak dari kasur ke sumur ke dapur, dari sumur ke dapur ke kasur, dari dapur ke kasur ke sumur, dari sumur ke kasur ke dapur.
Sang Kejahatan dan Sang Kebaikan sering bertengkar di dalam kepalaku. Suaranya membuatku gundah dan berputar-putar tiga belas putaran. Mereka bersuara sama memekakkan, bahkan selalu memukul-mukul tempurung kepalaku dengan tombak besi merah dan tongkat kayu putih di tangan kanan mereka hingga membuat kepalaku semakin berputar-putar dua puluh enam putaran.Bila Sang Kejahatan memenangkan pertengkaran karena suaranya lebih memekakkan, maka ia akan bersorak- sorai sambil menghentak-hentakkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku. Bila Sang Kejahatan kalah dalam pertengkaran karena suaranya kurang memekakkan, maka ia akan menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan bersorak-sorai sambil menghentak-hentakkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku. Maka aku sering diam, dan berpikir lebih baik tidak berkeinginan mempunyai keinginan.
Hati dan belati bukan pilihan yang harus kau pilih. Engkau bukan sedang ikut berjudi dalam lingkaran empat-lima orang, atau permainan mengadu nasib yang dilihat 155 juta orang semalam suntuk di seluruh negeri.
Hati dan belati, hari ini, bukan perumpamaan yang diucapkan para lelaki yang sepanjang hari menyembunyikan taring dan tanduknya dengan wajah laksana Sang Kebaikan dan mengenakan mahkota berlian di atas kereta kuda mewah berpahat lambang-lambang kerajaan. Hati kuberikan dengan kerelaan, karena aku ingin engkau menyimpannya di dadamu, sebelum aku merobek dadamu dan mengambil hatimu dan menyimpannya di dadaku, maka kita tidak perlu mempertarungkan kata-kata tentang isinya sewaktu-waktu hingga berhari-hari dan membuat kita bagai orang tanpa kepala. Belati kubawakan bukan untuk mengancammu, melukaimu, bahkan membunuhmu. Aku hanya ingin melindungimu dari iblis-iblis bertaring dan bertanduk dan berbulu dan berekor dan berlidah cabang tiga belas yang akan mencakari tubuhmu dari kiri dan kanan, dari depan dan belakang, dan dari pencoleng-pencoleng yang akan merobek dadamu dan mengambil hatiku yang disangkanya hatimu dan menyimpannya di dada mereka, padahal seharusnya mereka tahu ruang di dadamu hanya cukup untuk hatiku dan ruang di dadaku hanya cukup untuk hatimu, karena hati kita sama besar, sungguh-sungguh sama, maka itulah yang membuat kita bisa hidup selamanya bila kita telah merobek dada dan menukarnya. Tidak mati salah satunya hanya lebih dahulu beberapa helaan, karena sudah pasti disusul kematian berikutnya. Kematianku, atau kematianmu.

Terimalah hati dan belati yang kubawa, karena inilah harta yang kumiliki. Semata. Aku tidak akan membeli tubuhmu dengan sebongkah besar berlian atau sebuah istana berpintu seribu menghadap laut, karena aku tidak memilikinya dan aku bukan lelaki yang akan menyimpan perempuan-perempuan mereka di dalam kamar-kamar rahasia dan menyetubuhinya siang dan malam dengan kerakusan. Bila sudah kurobek dadamu dan mengambil hatimu dan menyimpannya di dadaku, dan hatiku yang kubawa di tangan kananku kuletakkan di dadamu, maka akan kuhadiahi engkau dengan bunga-bunga setiap pagi dan malam. Pagi ketika engkau terbangun dari tidur dengan rambutmu yang panjang dan berantakan tetapi wajahmu tetap indah, padahal pernah kudengar seorang perempuan tua berkata,
”Seorang perempuan nyata indahnya ketika ia terbangun dari tidur pagi harinya.” Malam ketika engkau akan terlelap dalam mimpi-mimpi yang kuharapkan indah, dengan rambutmu yang tersisir dan wangi bunga-bunga yang akan membuat wajahmu semata-mata indah dan memabukkanku, padahal pernah kudengar seorang lelaki tua berkata, ”Keindahan perempuan untuk di mata dan di badan.”
Akan kuberikan engkau ciuman di kening setiap malam dan pagi hari sebagai rasa bungah cintaku kepadamu. Bukan lumatan di bibir atau buah dadamu, karena aku mencintai hadirmu, bukan semata tubuhmu, maka aku tidak akan memperkosamu sejak sebelum tengah malam hingga ayam jantan berkokok bersama keluarnya matahari. Malam ketika engkau akan terlelap dalam mimpi-mimpi yang kuharapkan indah, dengan rambutmu yang tersisir dan wangi bunga-bunga yang akan membuat wajahmu semata-mata indah dan memabukkanku. Pagi ketika engkau terbangun dari tidur dengan rambutmu yang panjang dan berantakan tetapi wajahmu tetap indah Semata-mata. Akan kuganti baju tebal berwarna lumut namun terlalu banyak lumut yang menutupinya, panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku, dengan jubah berwarna merah bersulam naga-naga dari benang emas, meski tetap panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku.
Akan kuhabisi rambut panjang melebihi punggung yang tidak pernah kucuci dengan batang-batang padi kering dan sering membuat kepalaku gatal-gatal dan berkutu dan sudah puluhan tahun kusengajakan berpilin-pilin, meski aku membenci Daun Kenikmatan karena akan membuatku bodoh dan bicaraku bagai orang dungu. Maka rupaku akan laksana Penguasa Negeri Pasir, meski aku membenci manusia bodoh yang menganggap dirinya Sang Maha Segala dan aku selalu tertawa bila mengingatnya tenggelam bersama pasukan berkudanya di laut luas saat mengejar lelaki yang dijadikannya sebagai musuh besar, yang pergi bersama pengikut-pengikutnya, padahal saat kanak-kanak lelaki itu dijadikannya sebagai saudara sedarah karena mereka datang dari dua rahim.

Akan kupotong kuku di tangan kiri dan kanan yang panjang-panjang sehingga aku mirip setan bermata besar, bergigi taring, berambut putih panjang sekaki, bongkok dan berpunuk yang muncul dari balik asap ledakan, kata orang ledakan sekantung kecil pasir warna abu-abu, padahal tidak mungkin sekantung kecil pasir warna abu-abu meledak sedahsyat itu. Maka tanganku akan begitu indah hingga tidak lagi membuatku laksana setan yang datang dari lubang-lubang besar di kaki gunung. Terompah dari kulit domba dengan lapis sutra dan butir-butir emas akan membungkus kedua kakiku. Mahkota dari emas dengan butir-butir berlian dan permata akan melindungi kepalaku. Sebuah kereta dengan kuda-kuda yang kuat dan bersih akan mengikutiku kemana angin.
Namun aku tidak akan memaksamu. Bila hari ini engkau mengutuk sebuah ketiba-tibaan, maka aku akan menunggumu hingga beberapa hari berpikir meski kerut-kerut membuat keningmu hilang indahnya, dan hari ketujuh aku akan kembali mendatangi dengan sebuah pertanyaan berhari lalu: ”Bersediakah engkau menerima hati dan belati yang kubawakan untukmu?”
Bila hari itu engkau belum pula memiliki kata, maka aku akan mendatangimu tujuh hari kemudian, lalu pada hari ke-21, 28, 35, 42, 49, 56, 63, 70, 77, 84, 91, 98, 105, 112, 119, 126, 133, 140, 147, 154, 161, 168, 175, 182, 196, 203, 210, 217, 224, 231, 238, 245, 252, 259, 266, 273, 280, 287, 294, 301, 308, 315, 322, 329, 336, 343, 350, 357, 364.
Lalu pada hari ke-365 aku akan berhenti, karena aku tahu, engkau tidak berkenan. Tentu tubuhku terlalu bau dan kotor, meski wajahku tidaklah buruk, maka engkau menampik diriku. Tentu aku membawa persembahan yang tidak akan membawamu ke atas menara emas, maka engkau tapi-kan diriku. Tentu engkau mengharapkan seorang lelaki akan membeli tubuhmu dengan sebongkah besar berlian atau sebuah istana berpintu seribu menghadap laut, meski engkau tahu akan disimpannya bersama perempuan-perempuan lain di dalam kamar-kamar rahasia dan engkau akan disetubuhinya siang dan malam dengan kerakusan semata. Dengan kerakusan. Semata. Namun aku bahagia karena hari ini suara Sang Kejahatan kalah memekakkan. Ia menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan bersorak-sorai sambil menghentak-hentakkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku.
Meski membuatku semakin pusing tiga belas putaran. Kubawa sakit di kepala dan kakiku yang retak-retak kepanasan, mengelilingi tanah-tanah dan pasir-pasir dan debu-debu dengan kedua telapak tanganku yang terbuka, mencari tempat menghadap laut untuk menanam hatiku yang merah dan tidak lagi berlumur darah di tangan kanan, dan belati mengkilat di tangan kiri. Aku akan menunggumu di gerbang ruh-ruh abadi.